Terima Kasih Telah Mengunjungi Juragan Maklah, berikut ini addalah makalah studi qur'an dengan judul al-Qur'an Sebagai Sumber Utama dalam Islam, dengan tema pembahasan, akar kata al-Qur'an, nama dan sifat al-Qur'an, perbedaan al-Qur'an dengan hadis qudsi, seta hubungan sunnah dengan al-Qur'an.
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sudah menjadi keniscayaan bahwasanya Al-Qur’an merupakan
sumber utama dalam Islam, karena Al-Qur’an adalah ayat-ayat Allah yang
mengataasi segala ruang dan waktu serta serta menjelaskan kekuasannya. Yang
menjadi rujukan atau landasan bagi setiap umat Islam dalam beraktifitas, Al-Qur’an
sebagai sumber utama dalam Islam maknanya berarti setiap aspek kehidupan umat Islam
harus mengacu pada Al-Qur’an baik itu terkaid dengan ibadah maupun muamalah dimana
segala macam permasalahan yang dihadapai manusia diperoleh jalan penyelesainnya.
Oleh sebab itu menjadi sebuah keharusan bagi umat
manusia terutama umat Islam untuk mempelajari dan memahami nilai-nilai yang terkandung dalam
Al-Qur’an. Maka dari itu menjadi aneh tatkala Al-Qur’an sebagai pedoman utama
umat Islam, tetapi kebanyakan dari umat Islam tidak memahami bahkan ada yang
enggan untuk mempelajarinya.
Maka dari itu pada makalah ini akan dibahas sedikit
mengenai Al-Qur’an, yang berkaitan dengan akar kata Al-Qur’an, Nama dan Sifatnya,
perbedaan Al-Qur’an dengan hadis qudsi serta hubungan sunnah dengan AL-Qur’an.
B.
Rumusan
Masalah
Adapun
yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
1. Apa
Akar kata Al-Qur’an
2. Apa
saja nama dan bagaimana sifat Al-Qur’an
3. Apa
perbedaan Al-Qur’an dengan hadis qudsi
4. Bagaimana
hubungan sunnah dengan Al-Qur’an
C.
Tujuan
Penulisan
1. Untuk
memenuhi tugas makalah matakuliah Studi Qur’an
2. Sebagai
bahan diskusi
3. Untuk
memperkaya wawasan keilmuan
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Akar
Kata Al_Qur’an
Secara
etimologis, lafadz al-Qur’an berasal dari bahasa Arab, yaitu akar kata dari
Qara’a, yang berarti ‘‘Membaca’’. Al-Qur’an adalah bentuk isim masdar yang
diartikan sebagai isim maf’ul, yaitu maqru’ yang berarti ‘‘yang
dibaca’’.Pendapat lain menyatakan bahwa lafadz al-Qur’an yang berasal dari akar
kata qara’a tersebut juga memiliki arti al-Jam’u yaitu ‘‘mengumpulkan dan
menghimpun’’. Jadi lafadz qur’an dan
qari’ah berarti mengumpulkan dan menghimpun sebagian huruf-huruf dan kata-kata
yang satu dengan yang lainnya. Sementara
ini menurut Schwally dan Weelhausen dalam kitab Dairah al-Ma’arif menulis bahwa
lafadz al-Qur’an berasal dari bahasa Hebrew, yakni dari kata Keryani, yang
berarti ‘‘yang dibacakan’’. [1]
Terdapat
perbedaan pandangan dikalangan para ulama berkaitan dengan asal mula lafadz
(word) al-Qur’an tersebut. Pendapat pertama mengatakan bahwa penulisan lafadz
al-Qur’an dibubuhi dengan huruf hamzah (mahmuz). Sedangkan pendapat yang lain
mengatakan bahwa lafadz tersebut tidak dibubuhi dengan huruf hamzah (ghairu
mahmuz). Untuk pendapat yang disebutkan terakhir ini diwakili oleh al-Syafi’i,
al-Fara, dan al-Asy’ari. Dibawah ini akan diuraikan argument dari masing-masing
pendapat tersebut.
1.
Menurut al-Syafi’i lafadz al-Qur’an bukanlah
musytaq (tidak terampil dari akar kata apapun) dan bukan pula mahmuz (tidak
dibubuhi dengan huruf hamzah ditengahnya). Dengan kata lain bahwa lafadz
al-Qur’an itu adalah ismu jamid ghairu mahmuz, yaitu suatu isim yang berkaitan
dengan nama yang khusus di berikan al-Qur’an, sama halnya dengan nama Taurat
dan Injil. Jadi, menurut al-Syafi’i, lafadz tersebut bukan berasal dari akar
kata qara’a, yang berarti ‘‘membaca’’ sebagaimana disebutkan di tasa. Sebab
menurutnya lebih lanjut kalau al-Qur’an tersebut diambil dari akar kata qara’a,
maka semua yang dibaca pasti dapat dinamakan al-Qur’an.
2.
Menurut al-Asy’ari dan para pengikutnya,
menyatakan bahwa lafadz al-Qur’an tidak berhamzah dan merupakan pecahan
(musytaq) dari akar kata qarana, yang berarti ‘‘ menggabungkan’’. Dalam hal ini
ia mengemukakan contoh kalimat qaranat al-syai’u bi al-syai’i, yaitu
menggabungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain. Dengan demikian Kitab itu
dinamakan al-Qur’an karena suarah-surah dan ayat-ayat al-Qur’an itu dihimpun
dan digabungkan dalam satu mushaf.
3.
Menurut al-Fara’, lafadz al-Qur’an tidak
berhamzah dan merupakan pecahan (musytaq) dari kata qara’in (jamak dari kata
qarinah), yang berarti ‘‘kaitan, indikator, petunjuk’’. Hal ini disebabkan
karena sebagian ayat-ayat al-Qur’an itu serupa dengan ayat yang lain, oleh
karenanya seolah-olah sebagian ayat-ayatnya merupakan indikator (petunjuk) dari
apa yang dimaksud oleh ayat-ayat yang lain.
Sedangkan pendapat lain yang
menyatakan bahwa lafadz al-Qur’an ditulis dengan tambahan huruf hamzah (mahmuz)
diwakili oleh al-Zajjaj dan al-Lihyani.
1.
Menurut
al-Zajjaj, bahwa lafadz al-Qur’an ditulis dengan huruf hamzah (mahmuz)
ditengahnya dan mengikuti wazan fu’lan. Menurunya, lafadz tersebut diambil dari
akar kata al-qaru’u, yang berarti al-jam’u yaitu ‘‘penghimpunan’’. Dalam hal
ini al-Zajjaj mengemukakan contoh kalimat quri’a al-ma’u fi al-haudhi, yang
berarti ‘‘air itu dikumpulkan dalam kolam’’. Menurut al-Zajjaj, bahwa disebut
al-Qur’an karena didalamnya memuat kumpulan intisari dari Kitab-kitab suci
terdahulu. Sementara itu Ibn Atsir berpendapat bahwa disebut al-Qur’an karena
didalamnya memuat kumpulan kisah-kisah, amar ma’ruf nahi munkar, perjanjian,
ancaman, ayat-ayat dan surah-surah. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa lafadz
al-Qur’an adalah bentuk masdar seperti kata ghufran dan kufran.
2.
Menurut
al-Lihyani, bahwa lafadz al-Qur’an ditulis dengan huruf hamzah (mahmuz)
ditengahnya dan mengikuti wazan ghufran. Lafadz al-Qur’an merupakan pecahan
(musytaq) dari akar kata qara’a, yang berarti tala (membaca). Menurutnya,
lafadz al-Qur’an adalah isim masdar dengan arti isim maf’ul, yaitu al-maqru’
yang berarti ‘ yang dibaca’’.[2]
Menurut Dr. Subhi al-Shalih, setelah
menguraikan beberapa pendapat mengenai asal mula lafadz al-Qur’an tersebut
beserta argumentasi dari masing-masing golongan, menyimpulkan bahwa pendapat
yang lebih kuat adalah pendapat yang disebutkan terakhir, yaitu yang menyatakan
bahwa lafadz al-Qur’an adalah masdar dan muradif dengan lafadz qari’ah.
Demikian juga pendapat tersebut sesuai dengan kaidah pemecahan kata (isytiqaq)
dalam bahasa Arab. Pendapat ini sesuai dengan surah al-Qiyamah/75 : 17-18:[3]:
Sesungguhnya
atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (ayat-ayat al- Qur’an itu didalam
dadamu) dan (membuat pandai) membacanya. Apabila kami telah selesai
membacakannya maka ikutilah baca’annya itu’’ (Q.S. al-Qiyamah/75:17-18).
Sedangkan pengertian al-Qur’an secara
terminologis banyak dikemukakan oleh para ulama dari berbagai disiplin ilmu,
baik disiplin ilmu bahasa, ilmu kalam, ushul fiqh, dan sebagainya dengan
redaksi yang berbeda-beda. Perbedaan ini sudah tentu disebabkan oleh karena
al-Qur’an mempunyai kekhususan-kekhususan, sehingga penekanan (stressing) dari
masing-masing ulama ketika mendefinisikan al-Qur’an berdasarkan kapasitas
keilmuan yang dimiliki, karena hendak mencari kekhasan al-Qur’an tersebut.
Menurut Dr. Subhi al-Shalih dalam
kitabnya Mabahis fi Ulum al-Qur’an, bahwa definisi al-Qur’an yang disepakati
oleh kalangan alhi bahasa, ahli kalam, ahli fiqh, ushul fiqh, adalah sebagai
berikut :
Al-Qur’an
adalah firman Allah yang berfungsi sebagai mu’jizat, yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad yang tertulis dalam mushaf-mushaf, yang diriwayatkan secara
mutawatir, dan membacanya merupakan ibadah.
Sementara itu al-Zarqani dalam
kitabnya Manahil al-Irfan fi Ulum, al-Qur’an mendefinisikan al-Qur’an dengan :
Lafadz yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, mulai dari surah al-Fatihah sampai akhir
surat an-Nas.
Sedangkan Manna’
al-Qatthan dalam Mabahis fi Ulum al-Qur’an mendefinisikan al-Qur’an dengan :
Alqur’an adalah
kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang membacanya merupakan
suatu ibadah.
Selanjutnya Qatthan menjelaskan
definisi tersebut dengan menguraikan masing-masing item (kalimat) dari
pengertian diatas. Menurutnya, yang dimaksud dengan ‘‘ Kalam Allah’’) disini
adalah bukan seperti halnya kalam yang diucapkan manusia, jin, dan para
malaikat. Tetapi yang dimaksud dengan ‘‘kalam Allah’’ adalah firman-Nya yang
diturunkan kepada manusia agar manusia bisa mengamalkannya, dan kalam Allah itu
tidak terbatas luas jangkauannya, sebagaimana firman Allah, yang artinya :
Katakanlah
: sekiranya lautan menjadi tinta untuk menuliskan firman Tuhanku, akan habislah
lautan sebelum firman Tuhanku habis ditulis; sekalipun Kami berikan tambahannya
sebanyak itu pula.(Q.S. al-Kahfi /18:109).
Dan
seandainya pohon-pohon dibumi menjadi pena dan lautan menjadi tinta,
ditambahkan sesudahnya tujuh lautan lagi, niscaya kalam Allah tidak akan
habis-habisnya. (Q.S. Luqman/31 :27).
Dan yang dimaksud dengan ‘‘yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad’’ disini adalah hanya membatasi kepada Nabi
Muhammad, tidak termasuk yang diturunkan kepada Nabi-Nabi sebelumnya, seperti
kitab Taurat untuk Nabi Musa A.S, Kitab Injil untuk Nabi Isa, kitab Zabur untuk
Nabi Daud AS, dan Suhuf untuk Nabi Ibrahim.[4]
Sedangkan kalimat ‘‘yang membacanya
merupakan ibadah’’ adalah bahwa membaca al-Qur’an mempunyai nilai ibadah, yang
dalam hal ini mengecualikan hadist-hadist Ahad dan hadist-hadist Qudsi, dimana
membaca hadist-hadist semacam ni tidak mengandung nilai ibadah. Membaca
al-Qur’an yang bernilai ibadah tersebut ada dua kategori : Pertama, harus
dibaca didalam shalat. Hal ini sebagaimana hadist Nabi yang diriwayatkan
Bukhari ‘‘Tidak(syah) shalat seseorang yang tidak membaca surat Al-Fatihah’’;
dan yang Kedua, bahwa pahala membaca al-Qur’an tidak sama dengan membaca yang
bukan al-Qur’an. Sebagaimana hadist yang diriwayatkan oleh Imam al-Turmudzi
dari Ibn Mas’ud, Nabi bersabda :
Barang
siapa membaca satu huruf dari kitab Allah, ia mendapat kebaikan berlipat
sepuluh. Aku tidak berkata bahwa alif lam mim sama dengan satu huruf; tetapi
alif, satu huruf; lam, satu huruf dan mim satu huruf. ( HR. Tirmidzi).
Sedangkan Muhammad Ali al-Shabuni
dalam al-Tibyan fi Ulum al-Qur’an mendefinisikan al-Qur’an dengan :
Al-Qur’an adalah
kalam Allah yang bersifat Mu’jizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW
melalui perantaraan malaikat Jibril dengan lafal dan maknanya dari Allah SWT,
yang dinukilkan secara mutawatir, membacanya merupakan ibadah, dimulai dengan
surah al-Fatihah dan diakhiri dengan surah an-Nas.
Nampaknya dari berbagai definisi
al-Qur’an sebagaimana yang telah disebutkan diatas, kalau dilihat dari segi
redaksinya, maka definisi tersebut ada yang panjang dan ada pula yang pendek.
Semakin banyak sifat-sifat al-Qur’an yang dungkapkan, maka semakin panjang
rumusan definisi al-Qur’an itu, demikian juga sebaliknya. Bahkan ada yang
merumuskan definisi al-Qur’an dengan kalimat yang sangat pendek dengan
mengungkapkan satu diantara sekian banyak keistimewaan al-Qur’an, bahwa
‘‘al-Qur’an adalah kalam Allah yang berfungsi sebagai mu’jizat’’. Dengan
demikian, kalau definisi tentang al-Qur’an itu hendak dirumuskan kembali dengan
melihat sifat-sifat al-Qur’an tersebut, maka rumusan definisi al-Qur’an yang
paling jami’ dan mani’ adalah sebagaimana yang dirumuskan oleh Manna al-Qatthan
diatas.[5]
B. Nama Dan
Sifatnya
Allah SWT telah memilih untuk Kitab Suci
Islam ini dengan beberapa nama dan sifat (attribut), sebagaimana terdapat dalam
al-Qur’an dan sunnah Rasulullah. Diantara sekian banyak nama, yang paling
terkenal adalah al-Kitab dan al-Qur’an. Dinamakan al-Kitab karena memberi
pengertian bahwa wahyu itu dirangkum dalam bentuk tulisan yang merupakan
kumpulan huruf-huruf dan menggambarkan ucapan (lafadz). Sedangkan wahyu itu
dinamakan al-Qur’an karena memberikan pengertian bahwa wahyu itu tersimpan
didalam dada manusia, mengingat anam al-Qur’an sendiri berasal dari qira’ah,
dan didalam qira’ah terkandung makna ‘‘agar selalu ingat’’. Dan diantara dua
nama itu yang paling umum dikenal adalah al-Qur’an.
Penamaan al-Qur’an dengan dua nama
sebagaimana disebutkan di atas, memberikan isyarat bahwa al-Qur’an itu
terpelihara melalui dua bentuk, yaitu hafalan dan tulisan. Manakah salah satu
dari keduanya ada yang tidak benar, maka yang lainnya akan membenarkan dan
meluruskannya. Dengan demikian, seseorang tidak dapat hanya mengandalkan salah
satunya, yakni hafalan, namun ia juga harus mengacu kepada tulisan. Sehingga
masing-masing dari keduanya saling melengkapi dan saling menguji. Hal ini
sebagaimana yang telah dijanjikan Allah akan jaminan terpeliharanya al-Qur’an. [6]
Sesungguhnya
Kamilah yang telah menurunkan adz-Dzikr (al-Qur’an), dan sesungguhnya Kamilah
yang benar-benar akan menjaganya’’. (QS. Al-Hijr/15:9).
Selain
al-Kitab dan al-Qur’an, Allah juga telah memberi beberapa nama atau sifat
(attribut) lain bagi wahyu-Nya ini, misalnya adalah al-Furqan (pembeda antara
yang baik dan yang buruk, pembeda antara yang nyata dengan yang khayal),
al-Dzikr (pengingat atau pemberi peringatan), al-Tanzil (yang diturunkan) dan
beberapa atribut lainnya. Nama-nama dan atribut ini secara eksplisit memberi
indikasi bahwa al-Qur’an adalah Kitab Suci yang berdimensi banyak dan
berwawasan luas serta menunjukkan kemulian dan kesempurnaannya. Hal ini
sebagaimana dikatakan oleh al-Fairuz zabadi bahwa, banyaknya nama yang
diberikan kepada al-Qur’an menunjukkan kemuliaan dan kesempurnaan al-Qur’an,
yaitu untuk dijadikan pedoman dalam mengarungi kehidupan menuju suatu
kebahagiaan dan kesejahteraan.[7]
C. Perbedaan
Al-Qur’an Dengan Hadits Qudsi
1. Pengertian
Hadits
menurut bahasa artinya baru. Hadits juga secara bahasa berarti sesuatu yang di
bicarakan dan dinukil.[8]
Sedang menurut Manna’ Khalil Qattan, hadis dalam arti bahasa lawan dari qadim (lama). Dan yang dimaksud hadis
ialah setiap kata-kata yang diucapkan dan dinukil seta disampaikan oleh
manusia, maik kata-kata itu diperoleh melalui pendengaranya atau wahyu, baik
dalam keadaan sadar ataupun dalam keadaan tidur.[9]
Sedang
secara istilah hadits adalah apa saja yang Disandarkan kepada Nabi SAW, baik
berupa perkataan, perbuatan dan persetujuan atau sifat.[10]
Adapun
Qudsi menurut bahasa dinisbatkan kepada kata Qudus yang artinya suci, yaitu
sebuah penisbatan yang menunjukkan adanya pengagungan dan pemuliaan atau
penyandaran kepada Dzat Allah yang Maha Suci.[11]
Sedangkan
Hadits Qudsi Menurut istilah adalah apa yang disandarkan oleh Nabi dari
perkataan-perkataan beliau kepada Allah SWT.[12]
Dengan begitu dapat dikatankan bahwa hadis qudsi adalah wahyu Allah SWT kepada
Nabi Muhmmad SAW yang tidak termasuk Al-Qur’an.
2. Perbedaan
Al-Qur’an dengan Hadits Qudsi
Adapun
perbedaan antara Hadits Qudsi dengan Al-Qur’an menurut syaikh manna’
al-qaththan diantaranya adalah:
a. Al-Quran
itu lafazd dan maknanya dari Allah, sedang hadits qudsi maknanya dari Allah dan
lafazdnya dari Nabi.[13]
b. Menbaca
al-qur’an termasuk ibadah dan mendapat pahala, sedang membaca hadits qudsi
bukan termasuk ibadah dan tidak mendapat pahala.[14]
c. Disyaratkan
mutawatir dalam periwayatan al-qur’an, sedang dalam hadits qudsi tidak.[15]
Sedangkan
lebih terperinci dalam buku Studi Ilmu-ilmu Qur’an, Manna’ Khalil Al-Qattan menjelaskan
beberapa perbedaan antara Al-Qur’an dengan hadits qudsi yaitu:
a. Al-Qur’anul
karim adalah kalam Allah yang diwahyukan kepada Rasulullah dengan lafalnya, dan
dengan itu pula orang arab di tantang, tetapi mereka tidak mampu membuat
seperti al-qur’an itu, atau sepuluh surah yang serupa itu, bahkan satu surah
sekalipun. Tantangan itu tetap berlaku, Karen al-qur’an adalah mukjizat yang
abadi hingga hari kiamat. Sedang hadis qudsi tidak untuk menantang tidak pula
untuk mu’jizat.[16]
b. Al-qur’an
karim hanya di nisbahkan kepada Allah, sehingga dikatakan Allah ta’ala telah
berfirman. Sedanga hadits qudsi, seperti di jelaskan dia atas, terkadang
diriwayatkan dengan disandarkan kepada allah. Sehingga nisbah hadits qudsi
kepada Allah itu merupakan nisbah dibuatkan. Maka dikatakan: “Allah telah
berfirman atau Allah berfirman”. Terkadang pula diriwayatkan dengan disandarkan
kepada Rasulullah SAW, tetapi nisbahnya adalah nisbah kabar, karena nabi yang
menyampaikan hadits itu dari Allah. Maka dikatakan : Rasulullah SAW mengatakan
mengenai apa yang diriwayatkan dari tuhanya.[17]
c. Seluruh
isi Al-Qur’an dinukil secara mutawatir, sehingga kepastiannya sudah mutlak.
Sedang hadis qudsi kebanyakan adalah Khabar
Ahad, sehingga kepastiannya masih merupakan dugaan. Ada kalanya hadits
qudsi itu sahih,terkadang hasan
(baik) dan terkadang pula da’if (lemah)[18]
d. Al-Qur’anul
Karim Dari Allah, baik lafal maupun maknanya. Maka ia adalah wahyu baik dalam
lafal maupun maknanya. Sedang hadis qudsi maknanya saja yang dari Allah,
sedanga lafalnya dari Rassulullah SAW. Hadis qudsi adalah wahyu dalam makna
tetapi bukan dalam lafal, oleh sebab itu diperbolehkan meriwayatkan hadis qudsi
dengan maknanya saja.
e. Membaca
Al-Qur’anul Karim merupakan ibadah, karena itu ia dibaca dalam sholat. Sedanga
hadis qudsi tidak disuruh membacanya dalam sholat. Allah memberikan pahala
memberikan pahala membaca hadis qudsi secara umum saja. Maka membaca hadis
qudsi tidak akan memperoleh pahala seperti yang disebutkan dalam hadis mengenai
membaca Qur’an bahwa pada setiap huruf mendapatkan pahala sepuluh kebaikan.[19]
D. Hubungan Sunnah
Dengan Al-Qur’an
1.
Pengertian
Sunnah
Pengertian
sunnah menurut etimologi berarti tata cara.[20]
atau perilaku hidup, baik itu perilaku baik atau perilaku yang buruk. Sedangkan
menurut terminologi, terdapat beberapa pengertian diantaranya:
a. Menurut
ahli-ahli hadis
Menurut
para ahli hadits, sunnah adalah sabda,
pekerjaan, ketetapan, sifat atau tingkah laku nabi Muhammad SAW baik sebelum
menjadi nabi maupun sesudahnya.[21]
b. Menurut
ahli-ahli ushul fiqih
Sunnah
menurut ahli ushul fiqih, adalah sabda nabi Muhammad SAW yang bukan berasala
dari Al-Qur’an, Pekerjaan, atau ketetapannya.
c. Menurut
ahli-ahli fiqih
Menurut
para ahli fiqih (Fuqaha), sunnah adalah adalah hal-hal yang berasal dari nabi
Muhammad SAW baik ucapan maupun pekerjaan tetapi hal itu tidak wajib
dikerjakan.
Jadi
dapat disimpulkan sunnah adalah sabda, pekerjaan, ketetapan, sifat nabi yang
mana kesemuanya itu tidak wajib untuk di kerjakan.
2. Hubungan
Sunnah dengan al-qur’an
Berkaitan
dengan hubungan sunnah dengan Al-Qur’an, Dr. Wahbah Al-Zuhaili menjelaskan
setidaknya ada tiga macan hubungan sunnah dengan Al-Qur’an.
a. Sunnah
memperkuat hukum syari’at Al-quran[22]
Sunnah
memperkokohsetipa perintah kewajiban yang termaktub dalam Al-Qur’an , seperti
mendirikan sholat, menunaikan zakat, puasa ramadhan, haji dan ibadah lainnya.
Juga memperkokoh larangan mempersekutukan Allah SWT dengan beribadah kepada
selainnya, bersaksi palsu, durhaka kepada orang tua, membunuh seorang tanpa
hak, dan memakai harta orang lain.
b. Sunnah
memperjelas keuniversalan Al-Qur’an dan menafsirkan ketetapan hukum Syari’atnya[23]
Fungsi
sunnah Nabi Muhammad SAW adalah untuk menjelaskan keunuversalan Al-Qur’an yang
hanya menyampaikan secara umum saja seperti menjelaskan secara rinci bagaimana
cara sholat, manunaikan zakat, dan berhaji, menjelaskan sah dan tidaknya jual
beli, menjelaskan macam-macam riba dan lain sebagainya.
c. Sunnah
mengaktulisasikan hukum Al-Qur’an[24]
Maksud
dari sunnah mengaktualisasikan hukum Al-Qur’an ialah sunnah nabi menjelaskan
hukum dari sesuatu yang tidak ada penjelasannya dalam Al-Qur’an. Seperti
menyucikan bejana yang dijilat anjing, menyucikan kulit binatang dengan
menyamak, menyerukan bersiwak, tata cara melakukan hajat, menyerukan adzan dan
iqomah, sholat jenazah, sholat jamaah, sholat gerhana bulan dan matahari,
sholat dua ‘id dan lainnya.
Maka
dapat disimpulkan bahwa untuk memahami syari’at Allah yang terkandung dalam
Al-Qur’an dengan baik dan sempurna memerlukan sunnah Nabi untuk menjelaskannya.
Oleh karena itu Al-Quran dan sunnah keduanya saling berkaitan yang mana tidak
boleh meniadakan salah satunya sebagai sumber utama syariat.
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan Pembahasan Makalah ini, bahwa akar kata
Al Qur’an berasal dari bahasa Arab, yaitu akar kata dari Qara’a, yang berarti
‘‘Membaca’’. Al-Qur’an adalah bentuk isim masdar yang diartikan sebagai isim
maf’ul, yaitu maqru’ yang berarti ‘‘yang dibaca’’.Pendapat lain menyatakan
bahwa lafadz al-Qur’an yang berasal dari akar kata qara’a tersebut juga
memiliki arti al-Jam’u yaitu ‘‘mengumpulkan dan menghimpun’’. Jadi lafadz qur’an dan qari’ah berarti mengumpulkan dan
menghimpun sebagian huruf-huruf dan kata-kata yang satu dengan yang lainnya.
Selanjutnya Sifat atau Nama Al Qur’an antara lain
al-Furqan (pembeda antara yang baik dan yang buruk, pembeda antara yang nyata
dengan yang khayal), al-Dzikr (pengingat atau pemberi peringatan), al-Tanzil
(yang diturunkan) dan beberapa atribut lainnya. Oleh Karena itu, Al Qur’an dapat
didefenisikan sebagai Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW,
yang berfungsi sebagai Mu’jizat dan bagi yang membacanya merupakan suatu
ibadah.
Sedangkan
Hadits Qudsi Menurut istilah adalah apa yang disandarkan oleh Nabi dari
perkataan-perkataan beliau kepada Allah SWT. Dengan begitu dapat dikatankan
bahwa hadis qudsi adalah wahyu Allah SWT kepada Nabi Muhmmad SAW yang tidak
termasuk Al-Qur’an.
Maka
dapat disimpulkan bahwa untuk memahami syari’at Allah yang terkandung dalam
Al-Qur’an dengan baik dan sempurna memerlukan sunnah Nabi untuk menjelaskannya.
Oleh karena itu Al-Quran dan sunnah keduanya saling berkaitan yang mana tidak
boleh meniadakan salah satunya sebagai sumber utama syariat.
DAFTAR PUSTAKA
Manna Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu
Qur’an, (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2006)
Muhammad Mustafa Azami, Hadis Nabawi dan
Sejarah Kodifikasinya, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994)
Syaikh Manna Al-Qaththan, Pengantar Ilmu
Hadits, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005)
Wahbah Al-Zuhaili, Al-Qur’an dan
Paradigma Peradaban, (Yogyakarta: Dinamika, 1996)
[1]……Belajar Al Qur’an. (……,……….., ……)
[2] Ibid
[3] Ibid
[4] Ibid
[5] Ibid
[6] Ibid
[7] Ibid
[8]Syaikh Manna
Al-Qaththan, Pengantar Ilmu Hadits, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005)
[9] Manna Khalil
Al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2006)
[10] Ibid
[11] Syaikh Manna
Al-Qaththan
[12] Ibid
[13] Ibid
[14] Ibid
[15] Ibid
[16] Manna Khalil
Al-Qattan
[17] Ibid
[18] Ibid
[19] Ibid
[20] Muhammad Mustafa Azami,
Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994)
[21] Ibid, h. 14
[22] Wahbah Al-Zuhaili,
Al-Qur’an dan Paradigma Peradaban, (Yogyakarta: Dinamika, 1996)
[23] Ibid
[24] Ibid
No comments:
Post a Comment