Saturday, January 2, 2016

AL-QUR’AN SEBAGAI SUMBER UTAMA DALAM ISLAM



 Terima Kasih Telah Mengunjungi Juragan Maklah, berikut ini addalah makalah studi qur'an dengan judul al-Qur'an Sebagai Sumber Utama dalam Islam, dengan tema pembahasan, akar kata al-Qur'an, nama dan sifat al-Qur'an, perbedaan al-Qur'an dengan hadis qudsi, seta hubungan sunnah dengan al-Qur'an.

BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Sudah menjadi keniscayaan bahwasanya Al-Qur’an merupakan sumber utama dalam Islam, karena Al-Qur’an adalah ayat-ayat Allah yang mengataasi segala ruang dan waktu serta serta menjelaskan kekuasannya. Yang menjadi rujukan atau landasan bagi setiap umat Islam dalam beraktifitas, Al-Qur’an sebagai sumber utama dalam Islam maknanya berarti setiap aspek kehidupan umat Islam harus mengacu pada Al-Qur’an baik itu terkaid dengan ibadah maupun muamalah dimana segala macam permasalahan yang dihadapai manusia diperoleh jalan penyelesainnya.
Oleh sebab itu menjadi sebuah keharusan bagi umat manusia terutama umat Islam untuk mempelajari  dan memahami nilai-nilai yang terkandung dalam Al-Qur’an. Maka dari itu menjadi aneh tatkala Al-Qur’an sebagai pedoman utama umat Islam, tetapi kebanyakan dari umat Islam tidak memahami bahkan ada yang enggan untuk mempelajarinya.
Maka dari itu pada makalah ini akan dibahas sedikit mengenai Al-Qur’an, yang berkaitan dengan akar kata Al-Qur’an, Nama dan Sifatnya, perbedaan Al-Qur’an dengan hadis qudsi serta hubungan sunnah dengan AL-Qur’an.
B.       Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
1.      Apa Akar kata Al-Qur’an
2.      Apa saja nama dan bagaimana sifat Al-Qur’an
3.      Apa perbedaan Al-Qur’an dengan hadis qudsi
4.      Bagaimana hubungan sunnah dengan Al-Qur’an
C.      Tujuan Penulisan
1.      Untuk memenuhi tugas makalah matakuliah Studi Qur’an
2.      Sebagai bahan diskusi
3.      Untuk memperkaya wawasan keilmuan

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Akar Kata Al_Qur’an
Secara etimologis, lafadz al-Qur’an berasal dari bahasa Arab, yaitu akar kata dari Qara’a, yang berarti ‘‘Membaca’’. Al-Qur’an adalah bentuk isim masdar yang diartikan sebagai isim maf’ul, yaitu maqru’ yang berarti ‘‘yang dibaca’’.Pendapat lain menyatakan bahwa lafadz al-Qur’an yang berasal dari akar kata qara’a tersebut juga memiliki arti al-Jam’u yaitu ‘‘mengumpulkan dan menghimpun’’. Jadi lafadz  qur’an dan qari’ah berarti mengumpulkan dan menghimpun sebagian huruf-huruf dan kata-kata yang  satu dengan yang lainnya. Sementara ini menurut Schwally dan Weelhausen dalam kitab Dairah al-Ma’arif menulis bahwa lafadz al-Qur’an berasal dari bahasa Hebrew, yakni dari kata Keryani, yang berarti ‘‘yang dibacakan’’. [1]
Terdapat perbedaan pandangan dikalangan para ulama berkaitan dengan asal mula lafadz (word) al-Qur’an tersebut. Pendapat pertama mengatakan bahwa penulisan lafadz al-Qur’an dibubuhi dengan huruf hamzah (mahmuz). Sedangkan pendapat yang lain mengatakan bahwa lafadz tersebut tidak dibubuhi dengan huruf hamzah (ghairu mahmuz). Untuk pendapat yang disebutkan terakhir ini diwakili oleh al-Syafi’i, al-Fara, dan al-Asy’ari. Dibawah ini akan diuraikan argument dari masing-masing pendapat tersebut.
1.        Menurut al-Syafi’i lafadz al-Qur’an bukanlah musytaq (tidak terampil dari akar kata apapun) dan bukan pula mahmuz (tidak dibubuhi dengan huruf hamzah ditengahnya). Dengan kata lain bahwa lafadz al-Qur’an itu adalah ismu jamid ghairu mahmuz, yaitu suatu isim yang berkaitan dengan nama yang khusus di berikan al-Qur’an, sama halnya dengan nama Taurat dan Injil. Jadi, menurut al-Syafi’i, lafadz tersebut bukan berasal dari akar kata qara’a, yang berarti ‘‘membaca’’ sebagaimana disebutkan di tasa. Sebab menurutnya lebih lanjut kalau al-Qur’an tersebut diambil dari akar kata qara’a, maka semua yang dibaca pasti dapat dinamakan al-Qur’an.
2.        Menurut al-Asy’ari dan para pengikutnya, menyatakan bahwa lafadz al-Qur’an tidak berhamzah dan merupakan pecahan (musytaq) dari akar kata qarana, yang berarti ‘‘ menggabungkan’’. Dalam hal ini ia mengemukakan contoh kalimat qaranat al-syai’u bi al-syai’i, yaitu menggabungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain. Dengan demikian Kitab itu dinamakan al-Qur’an karena suarah-surah dan ayat-ayat al-Qur’an itu dihimpun dan digabungkan dalam satu mushaf.
3.        Menurut al-Fara’, lafadz al-Qur’an tidak berhamzah dan merupakan pecahan (musytaq) dari kata qara’in (jamak dari kata qarinah), yang berarti ‘‘kaitan, indikator, petunjuk’’. Hal ini disebabkan karena sebagian ayat-ayat al-Qur’an itu serupa dengan ayat yang lain, oleh karenanya seolah-olah sebagian ayat-ayatnya merupakan indikator (petunjuk) dari apa yang dimaksud oleh ayat-ayat yang lain.
          Sedangkan pendapat lain yang menyatakan bahwa lafadz al-Qur’an ditulis dengan tambahan huruf hamzah (mahmuz) diwakili oleh al-Zajjaj dan al-Lihyani.
1.    Menurut al-Zajjaj, bahwa lafadz al-Qur’an ditulis dengan huruf hamzah (mahmuz) ditengahnya dan mengikuti wazan fu’lan. Menurunya, lafadz tersebut diambil dari akar kata al-qaru’u, yang berarti al-jam’u yaitu ‘‘penghimpunan’’. Dalam hal ini al-Zajjaj mengemukakan contoh kalimat quri’a al-ma’u fi al-haudhi, yang berarti ‘‘air itu dikumpulkan dalam kolam’’. Menurut al-Zajjaj, bahwa disebut al-Qur’an karena didalamnya memuat kumpulan intisari dari Kitab-kitab suci terdahulu. Sementara itu Ibn Atsir berpendapat bahwa disebut al-Qur’an karena didalamnya memuat kumpulan kisah-kisah, amar ma’ruf nahi munkar, perjanjian, ancaman, ayat-ayat dan surah-surah. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa lafadz al-Qur’an adalah bentuk masdar seperti kata ghufran dan kufran.
2.    Menurut al-Lihyani, bahwa lafadz al-Qur’an ditulis dengan huruf hamzah (mahmuz) ditengahnya dan mengikuti wazan ghufran. Lafadz al-Qur’an merupakan pecahan (musytaq) dari akar kata qara’a, yang berarti tala (membaca). Menurutnya, lafadz al-Qur’an adalah isim masdar dengan arti isim maf’ul, yaitu al-maqru’ yang berarti ‘ yang dibaca’’.[2]
          Menurut Dr. Subhi al-Shalih, setelah menguraikan beberapa pendapat mengenai asal mula lafadz al-Qur’an tersebut beserta argumentasi dari masing-masing golongan, menyimpulkan bahwa pendapat yang lebih kuat adalah pendapat yang disebutkan terakhir, yaitu yang menyatakan bahwa lafadz al-Qur’an adalah masdar dan muradif dengan lafadz qari’ah. Demikian juga pendapat tersebut sesuai dengan kaidah pemecahan kata (isytiqaq) dalam bahasa Arab. Pendapat ini sesuai dengan surah al-Qiyamah/75 : 17-18:[3]:
Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (ayat-ayat al- Qur’an itu didalam dadamu) dan (membuat pandai) membacanya. Apabila kami telah selesai membacakannya maka ikutilah baca’annya itu’’ (Q.S. al-Qiyamah/75:17-18).
          Sedangkan pengertian al-Qur’an secara terminologis banyak dikemukakan oleh para ulama dari berbagai disiplin ilmu, baik disiplin ilmu bahasa, ilmu kalam, ushul fiqh, dan sebagainya dengan redaksi yang berbeda-beda. Perbedaan ini sudah tentu disebabkan oleh karena al-Qur’an mempunyai kekhususan-kekhususan, sehingga penekanan (stressing) dari masing-masing ulama ketika mendefinisikan al-Qur’an berdasarkan kapasitas keilmuan yang dimiliki, karena hendak mencari kekhasan al-Qur’an tersebut.
          Menurut Dr. Subhi al-Shalih dalam kitabnya Mabahis fi Ulum al-Qur’an, bahwa definisi al-Qur’an yang disepakati oleh kalangan alhi bahasa, ahli kalam, ahli fiqh, ushul fiqh, adalah sebagai berikut :
Al-Qur’an adalah firman Allah yang berfungsi sebagai mu’jizat, yang diturunkan kepada Nabi Muhammad yang tertulis dalam mushaf-mushaf, yang diriwayatkan secara mutawatir, dan membacanya merupakan ibadah.
          Sementara itu al-Zarqani dalam kitabnya Manahil al-Irfan fi Ulum, al-Qur’an mendefinisikan al-Qur’an dengan :
Lafadz yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, mulai dari surah al-Fatihah sampai akhir surat an-Nas.
Sedangkan Manna’ al-Qatthan dalam Mabahis fi Ulum al-Qur’an mendefinisikan al-Qur’an dengan :
Alqur’an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang membacanya merupakan suatu ibadah.
          Selanjutnya Qatthan menjelaskan definisi tersebut dengan menguraikan masing-masing item (kalimat) dari pengertian diatas. Menurutnya, yang dimaksud dengan ‘‘ Kalam Allah’’) disini adalah bukan seperti halnya kalam yang diucapkan manusia, jin, dan para malaikat. Tetapi yang dimaksud dengan ‘‘kalam Allah’’ adalah firman-Nya yang diturunkan kepada manusia agar manusia bisa mengamalkannya, dan kalam Allah itu tidak terbatas luas jangkauannya, sebagaimana firman Allah, yang artinya :
Katakanlah : sekiranya lautan menjadi tinta untuk menuliskan firman Tuhanku, akan habislah lautan sebelum firman Tuhanku habis ditulis; sekalipun Kami berikan tambahannya sebanyak itu pula.(Q.S. al-Kahfi /18:109).
Dan seandainya pohon-pohon dibumi menjadi pena dan lautan menjadi tinta, ditambahkan sesudahnya tujuh lautan lagi, niscaya kalam Allah tidak akan habis-habisnya. (Q.S. Luqman/31 :27).
          Dan yang dimaksud dengan ‘‘yang diturunkan kepada Nabi Muhammad’’ disini adalah hanya membatasi kepada Nabi Muhammad, tidak termasuk yang diturunkan kepada Nabi-Nabi sebelumnya, seperti kitab Taurat untuk Nabi Musa A.S, Kitab Injil untuk Nabi Isa, kitab Zabur untuk Nabi Daud AS, dan Suhuf untuk Nabi Ibrahim.[4]
          Sedangkan kalimat ‘‘yang membacanya merupakan ibadah’’ adalah bahwa membaca al-Qur’an mempunyai nilai ibadah, yang dalam hal ini mengecualikan hadist-hadist Ahad dan hadist-hadist Qudsi, dimana membaca hadist-hadist semacam ni tidak mengandung nilai ibadah. Membaca al-Qur’an yang bernilai ibadah tersebut ada dua kategori : Pertama, harus dibaca didalam shalat. Hal ini sebagaimana hadist Nabi yang diriwayatkan Bukhari ‘‘Tidak(syah) shalat seseorang yang tidak membaca surat Al-Fatihah’’; dan yang Kedua, bahwa pahala membaca al-Qur’an tidak sama dengan membaca yang bukan al-Qur’an. Sebagaimana hadist yang diriwayatkan oleh Imam al-Turmudzi dari Ibn Mas’ud, Nabi bersabda :
Barang siapa membaca satu huruf dari kitab Allah, ia mendapat kebaikan berlipat sepuluh. Aku tidak berkata bahwa alif lam mim sama dengan satu huruf; tetapi alif, satu huruf; lam, satu huruf dan mim satu huruf. ( HR. Tirmidzi).
          Sedangkan Muhammad Ali al-Shabuni dalam al-Tibyan fi Ulum al-Qur’an mendefinisikan al-Qur’an dengan :
Al-Qur’an adalah kalam Allah yang bersifat Mu’jizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantaraan malaikat Jibril dengan lafal dan maknanya dari Allah SWT, yang dinukilkan secara mutawatir, membacanya merupakan ibadah, dimulai dengan surah al-Fatihah dan diakhiri dengan surah an-Nas.
          Nampaknya dari berbagai definisi al-Qur’an sebagaimana yang telah disebutkan diatas, kalau dilihat dari segi redaksinya, maka definisi tersebut ada yang panjang dan ada pula yang pendek. Semakin banyak sifat-sifat al-Qur’an yang dungkapkan, maka semakin panjang rumusan definisi al-Qur’an itu, demikian juga sebaliknya. Bahkan ada yang merumuskan definisi al-Qur’an dengan kalimat yang sangat pendek dengan mengungkapkan satu diantara sekian banyak keistimewaan al-Qur’an, bahwa ‘‘al-Qur’an adalah kalam Allah yang berfungsi sebagai mu’jizat’’. Dengan demikian, kalau definisi tentang al-Qur’an itu hendak dirumuskan kembali dengan melihat sifat-sifat al-Qur’an tersebut, maka rumusan definisi al-Qur’an yang paling jami’ dan mani’ adalah sebagaimana yang dirumuskan oleh Manna al-Qatthan diatas.[5]

B.     Nama Dan Sifatnya
            Allah SWT telah memilih untuk Kitab Suci Islam ini dengan beberapa nama dan sifat (attribut), sebagaimana terdapat dalam al-Qur’an dan sunnah Rasulullah. Diantara sekian banyak nama, yang paling terkenal adalah al-Kitab dan al-Qur’an. Dinamakan al-Kitab karena memberi pengertian bahwa wahyu itu dirangkum dalam bentuk tulisan yang merupakan kumpulan huruf-huruf dan menggambarkan ucapan (lafadz). Sedangkan wahyu itu dinamakan al-Qur’an karena memberikan pengertian bahwa wahyu itu tersimpan didalam dada manusia, mengingat anam al-Qur’an sendiri berasal dari qira’ah, dan didalam qira’ah terkandung makna ‘‘agar selalu ingat’’. Dan diantara dua nama itu yang paling umum dikenal adalah al-Qur’an.
            Penamaan al-Qur’an dengan dua nama sebagaimana disebutkan di atas, memberikan isyarat bahwa al-Qur’an itu terpelihara melalui dua bentuk, yaitu hafalan dan tulisan. Manakah salah satu dari keduanya ada yang tidak benar, maka yang lainnya akan membenarkan dan meluruskannya. Dengan demikian, seseorang tidak dapat hanya mengandalkan salah satunya, yakni hafalan, namun ia juga harus mengacu kepada tulisan. Sehingga masing-masing dari keduanya saling melengkapi dan saling menguji. Hal ini sebagaimana yang telah dijanjikan Allah akan jaminan terpeliharanya al-Qur’an. [6]
Sesungguhnya Kamilah yang telah menurunkan adz-Dzikr (al-Qur’an), dan sesungguhnya Kamilah yang benar-benar akan menjaganya’’. (QS. Al-Hijr/15:9).
            Selain al-Kitab dan al-Qur’an, Allah juga telah memberi beberapa nama atau sifat (attribut) lain bagi wahyu-Nya ini, misalnya adalah al-Furqan (pembeda antara yang baik dan yang buruk, pembeda antara yang nyata dengan yang khayal), al-Dzikr (pengingat atau pemberi peringatan), al-Tanzil (yang diturunkan) dan beberapa atribut lainnya. Nama-nama dan atribut ini secara eksplisit memberi indikasi bahwa al-Qur’an adalah Kitab Suci yang berdimensi banyak dan berwawasan luas serta menunjukkan kemulian dan kesempurnaannya. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh al-Fairuz zabadi bahwa, banyaknya nama yang diberikan kepada al-Qur’an menunjukkan kemuliaan dan kesempurnaan al-Qur’an, yaitu untuk dijadikan pedoman dalam mengarungi kehidupan menuju suatu kebahagiaan dan kesejahteraan.[7]

C.    Perbedaan Al-Qur’an Dengan Hadits Qudsi
1.      Pengertian
Hadits menurut bahasa artinya baru. Hadits juga secara bahasa berarti sesuatu yang di bicarakan dan dinukil.[8] Sedang menurut Manna’ Khalil Qattan, hadis dalam arti bahasa lawan dari qadim (lama). Dan yang dimaksud hadis ialah setiap kata-kata yang diucapkan dan dinukil seta disampaikan oleh manusia, maik kata-kata itu diperoleh melalui pendengaranya atau wahyu, baik dalam keadaan sadar ataupun dalam keadaan tidur.[9]
Sedang secara istilah hadits adalah apa saja yang Disandarkan kepada Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan dan persetujuan atau sifat.[10]
Adapun Qudsi menurut bahasa dinisbatkan kepada kata Qudus yang artinya suci, yaitu sebuah penisbatan yang menunjukkan adanya pengagungan dan pemuliaan atau penyandaran kepada Dzat Allah yang Maha Suci.[11]
Sedangkan Hadits Qudsi Menurut istilah adalah apa yang disandarkan oleh Nabi dari perkataan-perkataan beliau kepada Allah SWT.[12] Dengan begitu dapat dikatankan bahwa hadis qudsi adalah wahyu Allah SWT kepada Nabi Muhmmad SAW yang tidak termasuk Al-Qur’an.
2.      Perbedaan Al-Qur’an dengan Hadits Qudsi
Adapun perbedaan antara Hadits Qudsi dengan Al-Qur’an menurut syaikh manna’ al-qaththan diantaranya adalah:
a.       Al-Quran itu lafazd dan maknanya dari Allah, sedang hadits qudsi maknanya dari Allah dan lafazdnya dari Nabi.[13]
b.      Menbaca al-qur’an termasuk ibadah dan mendapat pahala, sedang membaca hadits qudsi bukan termasuk ibadah dan tidak mendapat pahala.[14]
c.       Disyaratkan mutawatir dalam periwayatan al-qur’an, sedang dalam hadits qudsi tidak.[15]
Sedangkan lebih terperinci dalam buku Studi Ilmu-ilmu Qur’an, Manna’ Khalil Al-Qattan menjelaskan beberapa perbedaan antara Al-Qur’an dengan hadits qudsi yaitu:
a.       Al-Qur’anul karim adalah kalam Allah yang diwahyukan kepada Rasulullah dengan lafalnya, dan dengan itu pula orang arab di tantang, tetapi mereka tidak mampu membuat seperti al-qur’an itu, atau sepuluh surah yang serupa itu, bahkan satu surah sekalipun. Tantangan itu tetap berlaku, Karen al-qur’an adalah mukjizat yang abadi hingga hari kiamat. Sedang hadis qudsi tidak untuk menantang tidak pula untuk mu’jizat.[16]
b.      Al-qur’an karim hanya di nisbahkan kepada Allah, sehingga dikatakan Allah ta’ala telah berfirman. Sedanga hadits qudsi, seperti di jelaskan dia atas, terkadang diriwayatkan dengan disandarkan kepada allah. Sehingga nisbah hadits qudsi kepada Allah itu merupakan nisbah dibuatkan. Maka dikatakan: “Allah telah berfirman atau Allah berfirman”. Terkadang pula diriwayatkan dengan disandarkan kepada Rasulullah SAW, tetapi nisbahnya adalah nisbah kabar, karena nabi yang menyampaikan hadits itu dari Allah. Maka dikatakan : Rasulullah SAW mengatakan mengenai apa yang diriwayatkan dari tuhanya.[17]
c.       Seluruh isi Al-Qur’an dinukil secara mutawatir, sehingga kepastiannya sudah mutlak. Sedang hadis qudsi kebanyakan adalah Khabar Ahad, sehingga kepastiannya masih merupakan dugaan. Ada kalanya hadits qudsi itu sahih,terkadang hasan (baik) dan terkadang pula da’if (lemah)[18]
d.      Al-Qur’anul Karim Dari Allah, baik lafal maupun maknanya. Maka ia adalah wahyu baik dalam lafal maupun maknanya. Sedang hadis qudsi maknanya saja yang dari Allah, sedanga lafalnya dari Rassulullah SAW. Hadis qudsi adalah wahyu dalam makna tetapi bukan dalam lafal, oleh sebab itu diperbolehkan meriwayatkan hadis qudsi dengan maknanya saja.
e.       Membaca Al-Qur’anul Karim merupakan ibadah, karena itu ia dibaca dalam sholat. Sedanga hadis qudsi tidak disuruh membacanya dalam sholat. Allah memberikan pahala memberikan pahala membaca hadis qudsi secara umum saja. Maka membaca hadis qudsi tidak akan memperoleh pahala seperti yang disebutkan dalam hadis mengenai membaca Qur’an bahwa pada setiap huruf mendapatkan pahala sepuluh kebaikan.[19]

D.    Hubungan Sunnah Dengan Al-Qur’an
1.      Pengertian Sunnah
Pengertian sunnah menurut etimologi berarti tata cara.[20] atau perilaku hidup, baik itu perilaku baik atau perilaku yang buruk. Sedangkan menurut terminologi, terdapat beberapa pengertian diantaranya:
a.       Menurut ahli-ahli hadis
Menurut para ahli  hadits, sunnah adalah sabda, pekerjaan, ketetapan, sifat atau tingkah laku nabi Muhammad SAW baik sebelum menjadi nabi maupun sesudahnya.[21]
b.      Menurut ahli-ahli ushul fiqih
Sunnah menurut ahli ushul fiqih, adalah sabda nabi Muhammad SAW yang bukan berasala dari Al-Qur’an, Pekerjaan, atau ketetapannya.
c.       Menurut ahli-ahli fiqih
Menurut para ahli fiqih (Fuqaha), sunnah adalah adalah hal-hal yang berasal dari nabi Muhammad SAW baik ucapan maupun pekerjaan tetapi hal itu tidak wajib dikerjakan.
Jadi dapat disimpulkan sunnah adalah sabda, pekerjaan, ketetapan, sifat nabi yang mana kesemuanya itu tidak wajib untuk di kerjakan.
2.      Hubungan Sunnah dengan al-qur’an
Berkaitan dengan hubungan sunnah dengan Al-Qur’an, Dr. Wahbah Al-Zuhaili menjelaskan setidaknya ada tiga macan hubungan sunnah dengan Al-Qur’an.
a.       Sunnah memperkuat hukum syari’at Al-quran[22]
Sunnah memperkokohsetipa perintah kewajiban yang termaktub dalam Al-Qur’an , seperti mendirikan sholat, menunaikan zakat, puasa ramadhan, haji dan ibadah lainnya. Juga memperkokoh larangan mempersekutukan Allah SWT dengan beribadah kepada selainnya, bersaksi palsu, durhaka kepada orang tua, membunuh seorang tanpa hak, dan memakai harta orang lain.
b.      Sunnah memperjelas keuniversalan Al-Qur’an dan menafsirkan ketetapan hukum Syari’atnya[23]
Fungsi sunnah Nabi Muhammad SAW adalah untuk menjelaskan keunuversalan Al-Qur’an yang hanya menyampaikan secara umum saja seperti menjelaskan secara rinci bagaimana cara sholat, manunaikan zakat, dan berhaji, menjelaskan sah dan tidaknya jual beli, menjelaskan macam-macam riba dan lain sebagainya.
c.       Sunnah mengaktulisasikan hukum Al-Qur’an[24]
Maksud dari sunnah mengaktualisasikan hukum Al-Qur’an ialah sunnah nabi menjelaskan hukum dari sesuatu yang tidak ada penjelasannya dalam Al-Qur’an. Seperti menyucikan bejana yang dijilat anjing, menyucikan kulit binatang dengan menyamak, menyerukan bersiwak, tata cara melakukan hajat, menyerukan adzan dan iqomah, sholat jenazah, sholat jamaah, sholat gerhana bulan dan matahari, sholat dua ‘id dan lainnya.
Maka dapat disimpulkan bahwa untuk memahami syari’at Allah yang terkandung dalam Al-Qur’an dengan baik dan sempurna memerlukan sunnah Nabi untuk menjelaskannya. Oleh karena itu Al-Quran dan sunnah keduanya saling berkaitan yang mana tidak boleh meniadakan salah satunya sebagai sumber utama syariat.

BAB III
KESIMPULAN
 Berdasarkan Pembahasan Makalah ini, bahwa akar kata Al Qur’an berasal dari bahasa Arab, yaitu akar kata dari Qara’a, yang berarti ‘‘Membaca’’. Al-Qur’an adalah bentuk isim masdar yang diartikan sebagai isim maf’ul, yaitu maqru’ yang berarti ‘‘yang dibaca’’.Pendapat lain menyatakan bahwa lafadz al-Qur’an yang berasal dari akar kata qara’a tersebut juga memiliki arti al-Jam’u yaitu ‘‘mengumpulkan dan menghimpun’’. Jadi lafadz  qur’an dan qari’ah berarti mengumpulkan dan menghimpun sebagian huruf-huruf dan kata-kata yang  satu dengan yang lainnya.
Selanjutnya Sifat atau Nama Al Qur’an antara lain al-Furqan (pembeda antara yang baik dan yang buruk, pembeda antara yang nyata dengan yang khayal), al-Dzikr (pengingat atau pemberi peringatan), al-Tanzil (yang diturunkan) dan beberapa atribut lainnya. Oleh Karena itu, Al Qur’an dapat didefenisikan sebagai Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang berfungsi sebagai Mu’jizat dan bagi yang membacanya merupakan suatu ibadah.
Sedangkan Hadits Qudsi Menurut istilah adalah apa yang disandarkan oleh Nabi dari perkataan-perkataan beliau kepada Allah SWT. Dengan begitu dapat dikatankan bahwa hadis qudsi adalah wahyu Allah SWT kepada Nabi Muhmmad SAW yang tidak termasuk Al-Qur’an.
Maka dapat disimpulkan bahwa untuk memahami syari’at Allah yang terkandung dalam Al-Qur’an dengan baik dan sempurna memerlukan sunnah Nabi untuk menjelaskannya. Oleh karena itu Al-Quran dan sunnah keduanya saling berkaitan yang mana tidak boleh meniadakan salah satunya sebagai sumber utama syariat.
 
DAFTAR PUSTAKA
Manna Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2006)
Muhammad Mustafa Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994)
Syaikh Manna Al-Qaththan, Pengantar Ilmu Hadits, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005)
Wahbah Al-Zuhaili, Al-Qur’an dan Paradigma Peradaban, (Yogyakarta: Dinamika, 1996)
 

[1]……Belajar Al Qur’an. (……,……….., ……)
[2] Ibid
[3] Ibid
[4] Ibid
[5] Ibid
[6] Ibid
[7] Ibid
[8]Syaikh Manna Al-Qaththan, Pengantar Ilmu Hadits, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005)
[9] Manna Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2006)
[10] Ibid
[11] Syaikh Manna Al-Qaththan
[12] Ibid
[13] Ibid
[14] Ibid
[15] Ibid
[16] Manna Khalil Al-Qattan
[17] Ibid
[18] Ibid
[19] Ibid
[20] Muhammad Mustafa Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994)
[21] Ibid, h. 14
[22] Wahbah Al-Zuhaili, Al-Qur’an dan Paradigma Peradaban, (Yogyakarta: Dinamika, 1996)
[23] Ibid
[24] Ibid

No comments:

Post a Comment