Tuesday, December 22, 2015

Hawalah



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Bila menganalisis berbagai perintah Agama Islam dengan seksama, maka dengan mudah kita dapat memperoleh prinsip yang berkaitan dengan piutang konsumtif. Adapun prinsip piutang konsumtif adalah prinsip kemurnian, perjanjian, pembayaran dan bantuan yang timbul dari kenyataan bahwa mengambil suatu kredit tanpa suatu sebab yang shahih, ditolak oleh Rasulullah yang diriwayatkan berlindung dari utang maupun dosa. Aisyah berkata Rasulullah SAW biasa berdoa dengan mengucapkan kata-kata “Yaa Allah, aku berlindung padamu dari dosa dan berutang”. Seseorang bertanya padanya “Yaa Rasulullah, mengapa begitu sering engkau berlindung dari berutang?” Jawabnya “Bila orang berutang, dia berdusta, berbohong dan berjanji. Tetapi memungkiri janjinya” (HR. BUKHARI)
Sedangkan dalam hawalah ini terjadi perpindahan tanggungan atau hak dari satu orang kepada orang lain. Dan pengalihan penagihan hutang ini dibenarkan oleh syariah dan telah dipraktekkan oleh kaum Muslimin dari zaman Nabi Muhammad SAW sampai sekarang. Dalam Al-Qur’an kaum Muslimin diperintahkan untuk saling tolong menolong satu sama lain. Sebagaimana telah dijelaskan dalam Firman Allah :
 Artinya : “… dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran …… (QS.Al-Maidah: 2 )[1]
 Akad hawalah merupakan suatu bentuk saling tolong menolong yang merupakan manifestasi dari semangat ayat tersebut.
Kemudian berdasarkan hadist Barangsiapa yang mempunyai hutang namun dia mempunyai piutang pada orang lain yang mampu, kemudian dia memindahkan kewajiban membayar hutangnya kepada orang lain yang mampu itu, maka orang yang mampu tersebut wajib menerima kewajiban itu.  Nabi SAW bersabda: “Penundaan orang yang mampu (melunasi hutang) itu adalah zhalim, dan apabila seorang di antara kamu menyerahkan (kewajiban pembayaran hutangnya) kepada orang kaya, maka terimalah.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 5876).
Selanjutnya pembahasan mengenai Hawalah akan dikupas tuntas dalam pembahasan berikut ini.

B.     Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini ialah :
  1. Apa yang di maksud dengan hawalah
  2. Apa landasan hukum hawalah
  3. Bagaimana pelaksanaan hawalah
  4. Apa syarat dan rukun hawalah
 C.    Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah :
  1. Untuk memenuhi tugas mata kuliah pengantar fiqih muamalah
  2. Sebagai penambah wawasan tentang muamalah
 
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Definisi Hawalah
Secara bahasa pengalihan hutang dalam hukum islam disebut sebagai hiwalah yang mempunyai arti lain yaitu Al-intiqal dan Al-tahwil, artinya adalah memindahkan dan mengalihkan. Penjelasan yang dimaksud adalah memindahkan hutang dari tanggungan muhil (orang yang berhutang) menjadi tanggungan muhal'alaih (orang yang melakukan pembayaran hutang).[2]
لغة : النقل من محل إلى محل
Sedangkan pengertian Hiwalah secara istilah, para Ulama’ berbeda-beda dalam mendefinisikannya, antara lain sebagai berikut:[3]
1.      Menurut Hanafi, yang dimaksud hiwalah ialah :
نقل المطا لبة من دمة المديون إلى دمة الملتزم
Memidahkan tagihan dari tanggung jawab yang berutang kepada yang lain yang punya tanggung jawab pula”.
2.      Al-Jaziri berpendapat bahwa yang dimaksud dengan Hiwalah adalah:
نقل الدين من دمة إلى دمة
“Pemindahan utang dari tanggung jawab seseorang menjadi tanggung jawab orang lain”.
3.      Syihab al-din al-qalyubi bahwa yang dimaksud dengan Hiwalah adalah:

عقد يقتضى انتقال دين من دمة إلى دمة
“Akad yang menetapkan pemindahan beban utang dari seseorang kepada yang lain”.
4.      Muhammad Syatha al-dimyati berpendapat bahwa yang dimaksud Hiwalah adalah:
عقد يقتضى تحويل دين من دمة إلى دمة
“Akad yang menetapkan pemindahan utang dari beban seseorang menjadi beban orang lain”.
5.      Ibrahim al-bajuri berpendapat bahwa Hiwalah adalah:
نقل الحق من دمة المحيل إلى دمة المحال عليه
“Pemindahan kewajiban dari beban yang memindahkan menjadi beban yang menerima pemindahan”.
6.      Menurut Taqiyuddin, yang dimaksud Hiwalah adalah:
إنتقال الدين من دمة إلى دمة
Pemindahanutang dari beban seseorang menjadi beban orang lain”.
7.      Menurut Sayyid Sabiq, yang dimaksud dengan hawalah ialah pemindahan dari tanggungan muhil menjadi tanggunggan muhal ‘alaih.
8.      Idris Ahmad, Hiwalah adalah “Semacam akad (ijab qobul) pemindahan utang dari tanggungan seseorang yang berutang kepada orang lain, dimana orang lain itu mempunyai utang pula kepada yang memindahkan.
B.     Dasar Hukum Hawalah
Islam memperbolehkan hawalah berdasarkan hadits Rosulullah SAW. Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairoh, bahwa Rasulullah SAW, bersabda:
مَطْلُ ا لْغَنِيِّ ظُلْمٌ فَاِذَا أُ تْبِعَ أَ حَدُكُمْ عَلَى مَلِيٍ فَلْيَتَّبِعْ
Artinya : “Menunda pembayaran bagi orang yang mampu adalah kedzaliman. Dan jika salah seorang kamu diikutkan (dihiwalahkan) kepada orang kaya yang mampu, maka turutlah.”[4]
Pada Hadits ini Rasulullah memerintahkan kepada orang yang menghutangkan, jika orang yang berhutang menghiwalahkan kepada orang yang kaya dan berkemampuan, hendaklah ia menerima hiwalah tersebut, dan hendaklah ia mengikuti (menagih) kepada orang yang dihiwalahkannya (muhal'alaih), dengan demikian hakknya dapat terpenuhi (dibayar).[5]
Kebanyakan pengikut mazhab Hambali, Ibnu Jarir, Abu Tsur dan Az Zahiriyah berpendapat : bahwa hukumnya wajib bagi yang menghutangkan (da'in) menerima hiwalah, dalam rangka mengamalkan perintah ini. Sedangkan jumhur ulama berpendapat : perintah itu bersifat sunnah.
Kalangan Hanafiah dan Malikiah berpendapat bahwa hawalah adalah pengecualian dalam transaksi jual beli, yakni menjual hutang dengan hutang. Hal ini karena manusia sangat membutuhkannya. Hal ini juga merupakan pendapat yang paling dianggap sahih di kalangan Syafi’iah dan juga menurut salah satu riwayat di kalangan Hanabilah. Dasarnya adalah Hadist yang artinya :jika salah seorang dari kamu sekalian dipindahkan hutangnya kepada orang kaya, maka terimalah (HR.Bukhari dan Muslim).
Yang sahih menurut Hanabilah bahwa hawalah adalah murni transaksi irfaq (memberi manfaat) bukan yang lainnya. Ibnu al-Qayyim berkata, “Kaidah-kaidah syara’ mendukung dibolehkannya hawalah, dan ini sesuai dengan qiyas.
 
C.    Rukun dan Syarat Hawalah
1.      Rukun Hawalah
Menurut mazhab Hanafi, rukun hiwalah hanya ijab (pernyataan melakukan hiwalah) dari pihak pertama, dan qabul (penyataan menerima hiwalah) dari pihak kedua dan pihak ketiga.[6]
Menurut Mazhab Syafi’i Rukun Hawalah ada emat, yaitu:[7]
a.         Pihak pertama, muhil (المحيل):
Yakni orang yang berhutang dan sekaligus berpiutang,
b.         Pihak kedua, muhal atau muhtal (المحال او المحتال):
Yakni orang berpiutang kepada muhil.
c.         Pihak ketiga muhal ‘alaih (المحال عليه):
Yakni orang yang berhutang kepada muhil dan wajib membayar hutang kepada muhtal.
d.        Shighat Hawalah (pernyataan hawalah).
2.      Syarat-Syarat Hawalah
Adapun syarat-syarat hawalah menurut Sayyid Sabiq adalah Sebagai berikut :[8]
a.       Relanya pihak mihil dan muhal tanpa muhal alaih. Karena muhil berkewajiban membayar hutang dari arah mana saja yang sesuai dengan keinginannya. Dan karena muhal mempunyai hak yang ada pada tanggungan muhil, maka tidak mungkin ada perpindahan tanpa kerelaannya. Ada juga yang berpendapat bahwa tidak disyaratkan adanya kerelaan dari muhal, karena ia wajib menerimanya sesuai dengan hadits Rasululah :
…. فَاِذَا أُ تْبِعَ أَ حَدُكُمْ عَلَى مَلِيٍ فَلْيَتَّبِعْ
Artinya : “…. Dan jika salah seorang kamu diikutkan (dihiwalahkan) kepada orang kaya yang mampu, maka turutlah.”[9]
b.      Samanya kedua hak, baik jenis maupun kadarnya, penyelesaiannya, tempo waktu, kualitas dan kuantitasnya.
c.       Stabilnya muhal alaih, maka penghiwalahan kepada orang yang tidak mampu membayar utang adalah batal.
d.      Hak (hutang-piutang) tersebut diketahui secara jelas.

D.      Jenis-Jenis Hawalah
Ada dua jenis hawalah yaitu hawalah muthlaqoh dan hawalah Muqoyyadah.
1.    Hawalah Muthlaqoh terjadi jika orang yang berhutang (orang pertama) kepada orang lain ( orang kedua) mengalihkan hak penagihannya kepada pihak ketiga tanpa didasari pihak ketiga ini berhutang kepada orang pertama. Jika A berhutang kepada B dan A mengalihkan hak penagihan B kepada C, sementara C tidak punya hubungan hutang pituang kepada B, maka hawalah ini disebut Muthlaqoh. Ini hanya dalam madzhab Hanafi dan Syi’ah sedangkan jumhur ulama mengklasifikasikan jenis hawalah ini sebagai kafalah.
2.    Hawalah Muqoyyadah terjadi jika Muhil mengalihkan hak penagihan Muhal kepada Muhal Alaih karena yang terakhir punya hutang kepada Muhal. Inilah hawalah yang boleh (jaiz) berdasarkan kesepakatan para ulama.
Ketiga madzhab selain madzhab hanafi berpendapat bahwa hanya membolehkan hawalah muqayyadah dan menyariatkan pada hawalah muqayyadah agar utang muhal kepada muhil dan utang muhal alaih kepada muhil harus sama, baik sifat maupun jumlahnya. Jika sudah sama jenis dan jumlahny, maka sahlah hawalahnya. Tetapi jika salah satunya berbeda, maka hawalah tidak sah.

 E.       Unsur Kerelaan Dalam Hawalah
1.      Kerelaan Muhal
Mayoritas ulama Hanafiah, Malikiah dan Syafi’iah berpendapat bahwa kerelaan muhal (orang yang menerima pindahan) adalah hal yang wajib dalam hawalah karena hutang yang dipindahkan adalah haknya, maka tidak dapat dipindahkan dari tanggungan satu orang kepada yang lainnya tanpa kerelaannya. Demikian ini karena penyelesaian tanggungan itu berbeda-beda, bisa mudah, sulit, cepat dan tertunda-tunda.[10]
Hanabilah berpendapat bahwa jika muhal ‘alaih (orang yang berhutang kepada muhil) itu mampu membayar tanpa menunda-nunda dan tidak membangkang, muhal (orang yang menerima pindahan) wajib menerima pemindahan itu dan tidak diisyaratkan adanya kerelaan darinya. Mereka mendasarkan hal ini kepada hadist yang telah diseutkan di atas.
Alasan mayoritas ulama mengenai tidak adanya kewajiban muhal (orang yang menerima pindahan) untuk menerima hawalah adalah karena muhal ‘alaih kondisinya berbeda-beda ada yang mudah membayar dan ada yang menunda-nunda pembayaran. Dengan demikian, jika muhal ‘alaih mudah dan cepat membayar hutangnya, dapat dikatakan bahwa muhal wajib menerima hawalah. Namun jika muhal ‘alaih termasuk orang yang sulit dan suka menunda-nunda memayar hutangnya, semua ulama berpendapat muhal tidak wajib menerima hawalah.
2.      Kerelaan Muhal ‘Alaih
Mayoritas ulama Malikiah, Syafi’iah dan Hanabilah berpendapat bahwa tidak ada syarat kerelaan muhal ‘alaih, ini berdasarkan hadist yang artinya: jika alah seorang diantara kamu sekalian dipindahkan hutangnya kepada orang kaya, ikutilah (terimalah). (HR.Bukhari dan Muslim). Di samping itu, hak ada pada muhil dan ia boleh menerimanya sendiri atau mewakilkan kepada orang lain.[11]
Hanafiah berpendapat bahwa diisyaratkan adanya kerelaan muhal ‘alaih karena setiap orang mempunyai sikap yang berbeda dalam menyelesaikan urusan hutang piutangnya, maka ia tidak wajib dengan sesuatu yang bukan menjadi kewajibannya.
Pendapat yang rajih (valid) adalah tidak disyaratkan adanya kerelaan muhal ‘alaih. Dan muhal ‘alaih akan membayar hutangnya dengan jumlah yang sama kepada siapa saja dari keduanya. 

F.       Beban Muhil Setelah Hawalah
Apabila hawalah berjalan sah, dengan sendirinya tanggung jawab muhil gugur. Andaikata muhal ‘alaih mengalami kebangkrutan atau membantah hawalah atau meninggal dunia, maka muhal tidak boleh kemali lagi kepada muhil, hal ini adalah pendapat ulama jumhur.
Kecuali madzhab maliki yang menyatakan bila muhil telah menipu muhal, ternyata muhal ‘alaih orang fakir yang tidak memiliki sesuatu apapun untuk membayar, maka muhal boleh kembali lagi kepada muhil. Menurut imam Malik, orang yang menghawalahkan hutang kepada orang lain, kemudian muhal ‘alaih mengalami kebangkrutan atau meninggal dunia dan ia belum membayar kewajiban, maka muhal tidak boleh kembali kepada muhil.[12]
Abu Hanifah, Syarih dan Ustman berpendapat bahwa dalam keadaan muhal ‘alaih mengalami kebangkrutan atau meninggal dunia, maka orang yang menghutangkan (muhal) kembali lagi kepada muhil untuk menagihnya.[13]

G.      Berakhirnya Akad Hawalah
Akad hawalah akan berakhir oleh hal-hal berikut ini.
1.    Karena dibatalkan atau fasakh. Ini terjadi jika akad hawalah belum dilaksanakan sampai tahapan akhir lalu difasakh. Dalam keadaan ini hak penagihan dari Muhal akan kembali lagi kepada Muhil.
2.    Hilangnya hak Muhal Alaih karena meninggal dunia atau bangkrut atau ia mengingkari adanya akad hawalah sementara Muhal tidak dapat menghadirkan bukti atau saksi.
3.    Jika Muhal alaih telah melaksanakan kewajibannya kepada Muhal. Ini berarti akad hawalah benar-benar telah dipenuhi oleh semua pihak.
4.    Meninggalnya Muhal sementara Muhal alaih mewarisi harta hawalah karena pewarisan merupakah salah satu sebab kepemilikan. Jika akad ini hawalah muqoyyadah, maka berakhirlah sudah akad hawalah itu menurut madzhab Hanafi.
5.    Jika Muhal menghibahkan atau menyedekahkan harta hawalah kepada Muhal Alaih dan ia menerima hibah tersebut.
6.    Jika Muhal menghapus bukukan kewajiban membayar hutang kepada Muhal Alaih.

H.      Hikmah Disyari'atkannya Hawalah:[14]

Allah SWT mensyari'atkan hawalah sebagai jaminan harta dan menunaikan hajat manusia. Terkadang seseorang membutuhkan melepaskan tanggungannya kepada yang memberi pinjaman, atau menyempurnakan haknya dari yang telah diberinya pinjaman. Dan terkadang ia perlu memindahkan hartanya dari satu kota ke kota yang lain, dan memindahkan harta ini bukan perkara mudah. Bisa jadi karena susah membawanya, atau karena jauhnya jarak, atau karena perjalanan tidak aman, maka Allah SWT mensyari'atkan hawalah untuk merealisasikan segala kebutuhan ini.
Apabila orang yang berhutang memindahkan hutangnya kepada orang yang kaya, ia harus memindahkan hutang. Dan jika ia memindahkannya kepada orang yang bangkrut dan ia tidak tahu, niscaya ia kembali menuntut haknya kepada yang (muhil) memindahkan hutang. Dan jika mengetahui dan ridha dengan pemindahan hutang atasnya, maka ia tidak boleh kembali baginya. Dan menunda-nunda pembayaran orang yang kaya adalah haram, karena mengandung kezaliman.
Dari Abu Hurairah R.A, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda:
مَطْلُ ا لْغَنِيِّ ظُلْمٌ فَاِذَا أُ تْبِعَ أَ حَدُكُمْ عَلَى مَلِيٍ فَلْيَتَّبِعْ
Artinya : “Menunda pembayaran bagi orang yang mampu adalah kedzaliman. Dan jika salah seorang kamu diikutkan (dihiwalahkan) kepada orang kaya yang mampu, maka turutlah.”[15]
Apabila hawalah telah sempurna, hak itu berpindah dari tanggungan muhil (yang memindahkan hutang) kepada tanggungan muhal 'alaih (yang dipindahkan hutang atasnya) dan bebaslah tanggungan muhil.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan

Hawalah menurut bahasa artinya “pindah”. Menurut istilah, Hawalah adalah pemindahan piutang dari satu tanggungan kepada tanggungan yang lain. Di dalam hawalah ada beberapa syarat yang harus terpenuhi, yaitu: (1) Relanya pihak mihil dan muhal tanpa adanya muhal ‘alaih, jadi yang harus rela itu adalah muhal ‘alaih. (2) Samanya kedua hak, baik jenis maupun kadarnya, penyelesaiannya, tempo waktu, kualitas, dan kuantitasnya. (3) Stabilnya muhal ‘alaih, maka penghiwalahan kepada seseorang yang tidak mampu membayar utang adalah batal. (4) Hak tersebut diketahui secara jelas. Selain syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam akad hawalah, ada juga rukun di dalam pelaksanaannya, yaitu ijab dan qabul, yang mana ijab dan qabul ini dilakukan antara muhal dan muhil. Proses pelaksanaan hawalah ditinjau dari segi objek akad Ada dua jenis hawalah yaitu hawalah muthlaqoh dan hawalah Muqoyyadah.
Demikianlah makalah tentang Pemindahan utang piutang (Hawalah) yang dapat kami uraikan, semoga memberikan manfaat bagi kita dan dapat menambah khazanah keilmuan, khususnya mengenai bahasan dalam Fiqh Mu’amalah.
Kami menyadari bahwa dalam makalah ini masih banyak kekurangan dan kesalahan dalam tulisan maupun penyusunannya, karena selain kami masih dalam tahap belajar, kami juga manusia biasa yang tidak akan lepas dari salah dan dosa. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran konstruktif pembaca demi perbaikan makalah kami selanjutmya.

DAFTAR PUSTAKA
Departemen Haji dan Wakaf Kerajaan Saudi Arabia, Alqur’an dan Terjemah, (Madinah: Komplek Percetakan Al Qur’an Khadim Al Haramain asy Syarifaian Raja Fadh, 1412 H)
Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007)
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 13, (Kamaluddin, A. Marzuki) Fikih Sunnah (Bandung: al-Ma’arif Bandung, 1988)
Syaikh Muhammad bin Ibrahim At-Tuwaijri, Ringkasan Fiqih Islam 4, Bab Muamalah, (Indonesia: Islamhouse, 2009)

 

[1] Departemen Haji dan Wakaf Kerajaan Saudi Arabia, Alqur’an dan Terjemah, (Madinah: Komplek Percetakan Al Qur’an Khadim Al Haramain asy Syarifaian Raja Fadh, 1412 H) 
[2] Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007) 
[3] Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah,
[4] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 13, (Kamaluddin, A. Marzuki) Fikih Sunnah (Bandung: al-Ma’arif Bandung, 1988)
[5] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 13,
[6] Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah,
[7] Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah,
[8] Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah,
[9] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 13,
[10] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 13,
[11] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 13,
[12] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 13,
[13] Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah,
[14] Syaikh Muhammad bin Ibrahim At-Tuwaijri, Ringkasan Fiqih Islam 4, Bab Muamalah, (Indonesia : Islamhouse, 2009),
[15] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 13,

No comments:

Post a Comment